Sebuah tusuk konde emas milik seorang putri khayangan bernama Widuri terjatuh ke bumi. Tanpa diduga dan menakjubkan, tusuk konde tersebut menciptakan sebuah aliran sungai yang kemudian dikenal dengan sebutan Kalimas.
Nama itu diberikan warga sekitar mengingat di awal keberadaannya, permukaan sungai sempat terlihat bersinar-sinar keemasan. Namun sesungguhnya, kejatuhan tusuk konde telah diatur sedemikian rupa oleh Ambarukmo yang berniat ingin menyempurnakan ilmu sekaligus membalas dendam pada raja dan ratu khayangan yang pernah mengusirnya.
Sementara itu, sang pemilik tusuk konde emas Widuri mau tak mau harus ikut terdampar dan tinggal menetap di bumi sambil menanti sebuah keajaiban yang dapat mengembalikan dirinya ke istana khayangan.
Ambarukmo akhirnya menemukan kesempatan untuk mendapatkan dan memiliki tusuk konde sang putri, yaitu dengan cara memperalat kedua muridnya Rangin dan Panji. Hal itu dilakukan oleh Ambarukmo karena kedua muridnya itu selalu bersaing dalam segala hal termasuk urusan cinta.
Dengan iming-iming akan mendapatkan cinta Widuri, Ambarukmo lantas memerintahkan Rangin dan Panji untuk berlomba menemukan tusuk konde emas. Siapa yang lebih dulu menyerahkan tusuk konde emas, dia berhak menikah dengan Widuri yang selama ini mereka puja.
Berkat kelicikan dan tipu dayanya, Ambarukmo mengubah wujud Panji dan Rangin menjadi seekor buaya dan ikan hiu. Tidak cuma itu, kedua muridnya itu lantas diadu-domba hingga mereka nyaris saling membunuh.
Sadar bahwa mereka telah diperalat dan diadu-domba, hiu yang diberi nama Sura dan buaya bernama Baya itu lantas berbalik menyerang Ambarukmo hingga sang guru tewas mengenaskan. Namun, Sura dan Baya juga tak luput dari ajal saking parahnya luka yang mereka derita.
Sebelum kematian menjemput, keduanya sempat menyerahkan tusuk konde emas kepada sang gadis pujaan. Oleh karena itu demi mengingat jasa dan pengorbanan Sura dan Baya, wilayah itu diberi nama Surabaya.
Asal Mula Kota Jepara
Nama Jepara berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudi-an menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tiong-hoa bernama Yi-Tsing per-nah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa, dan diyakini berlokasi di Keling, ka-wasan Jepara sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Sima atau Ratu Shima yang dikenal sangat tegas dan ke-ras dalam memimpin rakyatnya.
Namun menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”, Jepara baru dikenal pa-da abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh pu-tranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menja-di daerah/kota niaga.
Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Falatehan yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada menantunya yaitu Pangeran Hadiri suami dari Ratu Retno Kencono, namun pa-da tahun 1549 Pangeran Hadiri dibunuh oleh Aryo Penangsang akibat perebutan kekuasaan di ke-rajaan Demak setelah wafatnya Sultan Trenggono.
Kematian orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar “NIMAS RATU KALINYAMAT”. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi bandar niaga utama di pulau Jawa dan menjadi pangkalan Angkatan Laut. Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan, hal ini dibuktikan de-ngan pengiriman kapal perangnya ke Malaka untuk menggempur Portugis pada tahun 1551 dan 1574. Dan oleh orang Portugis dijuluki “RAINHA DE JEPARA” atau “SENORA DE RICA” yang artinya Raja Jepara seorang yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Selain itu Ratu Kalinyamat juga berjasa dalam membudayakan Se-ni Ukir yang sekarang jadi andal-an utama ekonomi Jepara, yaitu perpaduan Seni Ukir Majapahit dengan Seni Ukir Patih Bandar duwung yang berasal dari Negeri Cina.
Mengacu pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur, maka penetapan Hari Jadi Jepara mengambil waktu beliau dinobatkan sebagai penguasa Jepara, yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal Tahun 956 H atau 10 April 1549, ini telah ditandai dengan Candra Sengkala “TRUS KARYA TATANING BUMI” atau Terus Bekerja Keras Membangun Daerah.
Gunung Merapi
Gunung Merapi adalah penjelmaan dari perubahan Gunung Jamurdipo. Menurut cerita yang beredar di sana, sebagaimana diungkapkan Lucas Sasongko Triyoga dalam bukunya, Manusia Jawa dan Gunung Merapi (Gadjah Mada University Press, 1991), sewaktu Pulau Jawa diciptakan para desa, keadaannya tidak seimbang. Karena miring ke barat. Ini disebabkan di ujung barat terdapat Gunung Jamurdipo.
Atas prakarsa Dewa Krincingwesi, gunung tersebut dipindahkan ke bagian tengah agar terjadi keseimbangan. Pada saat yang bersamaan, di tengah Pulau Jawa terdapat dua empu kakak beradik, yakni Empu Rama dan Permadi. Keduanya tengah membuat keris pusaka Tanah Jawa. Mereka oleh para dewa telah diperingatkan untuk memindahkan kegiatannya tetapi keduanya bersikeras. Mereka tetap akan membuat pusaka di tengah Pulau Jawa. Maka, Dewa Krincingwesi murka. Gunung Jamurdipo kemudian diangkat dan dijatuhkan tepat di lokasi kedua empu itu membuat keris pusaka. Kedua empu itu, akhirnya meninggal. Terkubur hidup-hidup karena kejatuhan Gunung Jamurdipo. Untuk memperingati peristiwa tersebut, Gunung Jamurdipo kemudian diubah menjadi Gunung Merapi. Artinya, tempat perapian Empu Rama dan Permadi. Roh kedua empu itu kemudian menguasai dan menjabat sebagai raja dari segala makhluk halus yang menempati Gunung Merapi.
Mitos tentang asal-usul Gunung Merapi ini ternyata juga muncul dengan versi lain di Korijaya.
Pada
jaman dahulu kala, pulau Jawa belum banyak daerah yang dihuni oleh
manusia. Kebanyakan wilayahnya adalah hutan belantara yang dihuni oleh
makhluk-maklhuk gaib dan binatang liar. Keadaan pulau jawa pada waktu
itu miring, shingga mengkawatirkan kelangsungan makluk hidup yang
menghuninya. Hanya ada beberapa bagian yang dihuni oleh sekelompok
manusia yang hidup secara bergerombol dan suka berpindah-pindah karena
keganasan alam dan serangan musuh.
Para
penghuni pulau jawa ini tidak menyadari kalau tanah yang mereka tempati
itu sebenarnya miring, sehingga ada kekhawatiran akan meluncur dan
tenggelam ke laut Selatan. Yang mengetahui keadaan ini adalah para dewa
di kayangan yang peduli akan kelangsungan hidup para penghuni pulau Jawa
waktu itu. Para dewa di kayangan akhirnya sepakat untuk membuat agar
pulau Jawa tidak miring, sehingga para penghuninya bisa berkembang biak
dan semakin maju peradabannya.
Untuk
membuatnya tidak miring, para dewa di kayangan berencana memberikan
pemberat yang diletakkan di tengah-tengah pulau. Kemudian para dewa
bekerja keras untuk mewujutkan rencana mereka. Pekerjaan dimulai dengan
menimbang pulau Jawa untuk menentukan titik tengah keseimbangan pulau
itu. Terjadilah gempa bumi yang dahsyat pada waktu itu karana pulau itu
diangkat dan diletakkan diatas timbangan oleh para dewa. Dahsyatnya
gempa bumi pada waktu itu tidak menimbulkan banyak korban jiwa, karena
sudah diperhitungkan oleh pawa dewa dan penduduk waktu itu hanya tinggal
di gubuk-gubuk. Ketakutan yang mereka alami tentu saja tidak bisa
mereka elakkan lagi. Tidak hanya menusia yang ketakutan namun para
penghuni lainnya termasuk binatang juga lari tunggang-langgang
ketakutan.
Para
penghuni pulau Jawa pada saat terjadi gempa yang dahsyat itu kebanyakan
larinya ke arah selatan, sehingga menambah parah kemiringan pulau Jawa.
Para dewa pun berpikir keras untuk menaruh pemberat yang lebih besar
dari yang diperkirakan mereka sebelumnya.
Para
dewa kemudian berunding lagi untuk menentukan pemberat yang akan mereka
taruh di tengah pulau itu. Mereka memutuskan menggunakan Gunung
Jamurdwipa yang yang sangat terkenal bagi makhluk-makhluk gaib dan
sangat tinggi menjulang di dalam laut selatan. Para dewa kemudian
memberikan pengarahan dan meminta ijin para penghuni Gunung Jamurdwipa
aga segera pindah tempat, karena gunung yang mereka tempati akan
dipindahkan ke tengah-tengah pulau Jawa.
Dari
hasil pengukuran yang telah mereka lakukan terdahulu, ternyata
lokasinya dihuni oleh dua orang yang sedang bekerja di tengah hutan
belantara. Ke dua orang itu tenyata empu yang sedang membuat keris. Para
dewa kemudian mengutus Dewa Panyarikan dan Batara Naradha beserta para
pengawal untuk memberitahu kepada kedua orang itu agar segera pindah
karena tempatnya akan diletakkan Gunung Jamurdwipa.
Para
utusan dewa itu terpesona melihat kedua empu yang sedang mengerjakan
keris masing-masing tanpa bantuan alat apapun. Empu itu sedang mencampur
segala macam bahan logam dan dengan tangan kosong mereka menggunaka
telapak tangan dan jari-jari untuk menempa dan memilin campuran bubuk
logam itu hingga menggumpal.
Pekerjaan
empu pada waktu itu tentu saja tidak bisa disela karena memelukan
konsantrasi tingkat tinggi untuk mengolah bijih logam itu. Para utusan
pun mau menunggu, dan sambil melihat betapa takjubnya mereka mengetahui
cara pembuatan keris yang dilakukan oleh para empu itu. Gumpalan besi
itu kemudian dipukul-pukul dan diurut-urut oleh para empu itu hanya
menggunakan tangan mereka. Dan yang lebih menakjubkan lagi gumpalan besi
itu membara dan menyala-nyala namun tangan para empu itu tidak terbakar
sedikitpun.
Pekerjaan
empu itu sebenarnya belum selesai namun karena ada utusan penting, maka
pekerjaanya di hentikan sementara dan menemui utusan dari kayangan
tersebut. Empu tersebut kemudian memperkenalkan diri. Yang satunya
bernama Mpu Permadi sedangkan yang satunya lagi bernama Mpu Rama.
Setelah saling memperkenalkan diri dan sedikit basa-basi, akhirnya
Batara Naradha dan Dewa Panyarikan mengutarakan maksud kedatangannya.
Batara
Naradha pun segera menyampaikan maksud kedatangannya dan didukung oleh
pernyataan Sewa Panyarikan, yaitu menyarankan agar kedua empu itu segera
pundah dari lokasi itu karena akan ditepatkan gunung besar yang akan
digunakan untuk menyeimbangkan pulau Jawa yang sedang miring. Batara
Naradha menjelaskan hal ikhwal terjadinya gempa dan keadaan pulau Jawa
yang sangat mengkawatirkan mengharapkan agar kedua orang itu mau
mengerti dan menuruti kehendaknya tanpa ada halangan satupun. Tidak lupa
Dewa Panyarikan pun menjelaskan pentingnya pekerjaan itu demi
kelangsungan hidup para penghuni pulau Jawa.
Mpu
Permadi dan Mpu Rama tertegun dan saling berpandangan. Nampak dari
gurat wajahnya seperti tidak berkenan dengan kehendak para dewa. Ke dua
empu itu mempunyai kepentingan terkait dengan pekerjaannya yang belum
selesai. Dan ternyata ke-dua empu itu tidak berkenan bila harus
berpindah tempat, sementara pekerjaan membuat kerisnya baru saja dimulai
dan harus diselesaikian dilokasi itu. Kedua empu itu berpendapat jika
pembuatan kerisnya tidak selesai dengan sempurna akan mendatangkan
malapetaka bagi manusia, maka harus mereka meminta harus menunggu hingga
pekerjaannya selesai.
Kedua
utusan itupun berpendapat jika perkara ini adalah perkara yang bersifat
mendesak, sehingga jikalau harus menggunakan pemaksaan pun akan
dijalankannya. Kedua utusan itu tak henti-hentinya menerangkan bahwa
tugas yang diembannya adalah demi kelangsungan hidup umat di pulau Jawa.
Namun kedua empu itu juga kokoh pada pendiriannya, jika pengerjaan
keris itu tidak sempurna juga akan mendatangkan mala petaka bagi
manusia.
Kedua
kubu itu pun terlibat adu mulut yang sangat menegangkan. Nampaknya
suasananya semakin menjadi tidak terkendali. Karena alasan yang sangat
mendesak, maka kedua utusan dewa pun menggunakan pemaksaan dengan
mengerahkan seluruh bala tentara pengawalnya untuk menyerang kedua empu
itu. Kedua empu itu segera memasang kuda-kuda untuk menyambut serangan
bala tentara kayangan itu. Nampaknya pertarungan itu tidaklah seimbang
mengingat kesaktian dari kedua empu itu dalam waktu yang tdak lama semua
bala tentara itu berhasil dikalahkan.
Kini
tinggal berempat mereka berhadap-hadapan dan terjadilah duel satu lawan
satu. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan. Pertarungan kali ini
nampak seimbang, sehingga pertempurannya berlangsung lama dan wilayah
sekitar pertempuran itu nampak berantakan, banyak batu-batu berhamburan
dan hancur jadi debu, pohon-pohon besar bertumbangan dan asap atau debu
mengepul.
Kedua
empu itu tentu saja sedemikian menguasai medan, sehingga ini merupakan
keuntungan bagi kedua empu itu. Tempat itu berada di daerah kekuasaan
empu, sehingga keadaan ini sangat menguntungkan bagi kedua empu itu dan
kelemahan bagi para utusan dewa itu. Didukung kesaktian kedua empu itu,
akhirnya merekapun memenangkan pertempuran itu dan para utusan dewa
itupun diusir untuk segera kembali ke tempat asalnya.
Para
utusan dari kayangan itu segera terbang ke kayangan untuk melapor
kepada Batara Guru sebagai Pemimpin para dewa waktu itu. Setibanya di
kayangan, mereka segera melaporkan kegagalan mengusir dua orang empu
itu. Tidak lupa merekapun melaporkan kesaktian yang tidak lazim dari
kedua empu itu. Batara Guru sangat murka dan merasa diremehkan oleh
kedua empu itu dan menjadi murka.
Batara
Guru kemudian memberi titah kepada Dewa Bayu untuk memberikan pelajaran
buat Mpu Rama dan Mpu Permadi. Dewa Bayu diperintah untuk segera
memindahkan Gunung Jamurdwipa dengan meniupnya. Batara guru tidak peduli
dengan keselamatan kedua empu itu, karena telah menentang para dewa dan
membahayakan keselamatan umat manusia.
Berangkatlah
Dewa Bayu ke Laut Selatan. Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup
gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan berhasil
menerbangkan Jamurdwipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian
jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di
tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdwipa hingga tewas
seketika. Kemudian roh kedua empu tersebut tidak bisa diterima di alam
baka sehingga menjadi penunggu gunung itu.
Meskipun
kedua empu sakti itu telah tewas tertimpa gunung, namun sisa-sisa
kesaktiannya tidak padam. Bahan keris yang masih dalam proses
pengerjaanya masih menyala dan tidak dapat dipadamkan kecuali oleh kedua
orang empu yang sudah tewas tersebut dan terus menerus membara dan
karena tertimbun oleh gunung, lama kelamaan semakin membara dan
membesar. Karena bertambah besar baranya, maka tempatnya menjadi
terbatas sedangkan tekanannya menjadi meningkat. Bara api yang makin
membesar itu menyembur ke atas dengan membakar bebatuan dan tanah yang
menimbunnya hingga meleleh. Oleh karena tanah dan bebatuan yang meleleh
tadi mnimbulkan lobang yang semakin hari semakin bertambah luas hingga
sekarang menjadi kawah.
KISAH CINTA NAWANGSIH & RINANGKU
Nawangsih adalah salah secrang putri Sunan Muria yang terkenal cantik di tengah gadis-gadis pesantren. Wajarlah jika gadis itu didambakan dan dirindukan sebagai calon istri oleh banyak santri lelaki yang belajar di pesantren Sunan Muria. Hal itu diketahui juga oleh Sunan Muria walaupun tak pernah diungkapkan secara terbuka.
Sebagai
seorang ayah, tentulah Sunan Muria mengharapkan seorang menantu yang
simpatik dari kelak dapat dipercaya tanggung jawabnya terhadap keluarga.
Namun, sebagai seorang guru atau kyai di pesantren yang banyak
muridnya, Sunan Muria cencerung menaruh perhatian kepada
santri yang pandai-pandai. Di antara mereka itu tersebutlah seorang
santri dari daerah Pati, nama panggilannya Cebolek. Dipanggil demikian
karena tubuhnya cebol (pendek) sehingga penampilannya tidak tampan (elek).
Pada
suatu saat, pernah Sunan Muria menyebutnyebut nama itu sebagai calon
suami Nawangsih. Akan tetapi, sang gadis merasa sedih karena mengaku
tidak mencintainya. Di pihak lain, secara diam-diam Cebolek telanjur
menaruh hati.
Walaupun
sudah cukup lama Cebolek mencari-cari jalan yang terbaik untuk
berhubungan dengan Nawangsih, belum juga berhasil karena sang gadis itu
selalu menghindari kemungkinan bertemu dengan pemuda santri itu. Gelagat
atau pertanda kegagalan itu semakin kentara setelah hadirnya seorang
santri bare yang bernama Rinangku, salah seorang anak Ki Pandanaran yang
berkuasa di Semarang. Dalam waktu yang singkat, Rinangku yang tampan
dan kaya itu sudah berhasil mendekati Nawangsih sehingga Cebolek merasa
tersisih. Akibatnya, timbul iri dengki di lubuk hati Cebolek dan
akhirnya berkembang niat hendak mencelakakan Rinangku.
Kebetulan,
waktu itu muncul kerusuhan dari ulah para perampok di sebelah barat
Gunung Muria. Banyak penduduk desa yang mengungsi ke pesantren sehingga
Sunan Muria memerintahkan santri-santrinya untuk menumpas kaum perampok.
Pada saat itulah Cebolek merasa mendapatkan kesempatan yang tepat untuk
menjatuhkan wibawa Rinangku.
“Bapak
Guru, sesungguhnya kami sudah lama berbakti dan mengabdi di pesantren
ini, sedangkan Rinangku belum kelihatan baktinya. Oleh karena itu,
berikanlah tugas menumpas perampok itu kepadanya, supaya dia pun teruji
kepandaiannya.”
Permohonan
Cebolek itu dianggap wajar oleh Sunan Muria, dan segeralah tugas itu
dipercayakan kepada Rinangku. Sebenarnya, Cebolek justru menginginkan
tewasnya Rinangku di tangan para perampok. Akan tetapi, tidak lama
kemudian Rinangku kembali membawa kemenangan. Bahkan, sanggup mengajak
beberapa orang perampok untuk bertobat dan berguru kepada Sunan Muria.
Keberhasilan itu semakin membesarkan simpati Nawangsih terhadap
Rinangku.
Cebolek
yang merasa semakin tersisih lantas menyebar fitnah. Kepada para santri
dikabarkan bahwa Rinangku pernah secara sembunyi-sembunyi memasuki
kamar Nawangsih sehingga perlu dijebak agar tertangkap basah. Tindakan
seperti itu jelas melanggar adat kesopanan dan akan merusak wibawa kaum
santri. Kabar itu akhirnya terdengar juga oleh Sunan Muria, namun
disaring-saring kebenarannya. Meskipun demikian, teguran amarah telah
dicurahkannya kepada Nawangsih yang telah dengan santun membantahnya.
Demi
kewibawaan pribadi Sunan maka pada suatu hari Sunan Muria memanggil
Rinangku sendirian. Setelah gaga) memperoleh pengakuan dari Rinangku,
berkatalah Sunan dengan lembutnya, “Baiklah, Rinangku. Mulai besok
engkau bertugas menunggu burung-burung yang memakan padi di sawah Dukuh
Masin. Janganlah engkau kembali sebelum aku sendiri memanggilmu.”
Rinangku
yang selalu patuh terhadap perintah sang Guru segera berkemas dan
melaksanakan tugas itu. Selama berhari-hari dia berada di sebuah gubuk
di tengah sawah untuk menyaksikan ribuan burung memakan padi.
Pada
suatu siang, datanglah Sunan Muria beserta Nawangsih dan sejumlah
santri hendak mengajak pulang Rinangku yang memang tak terbukti
kesalahannya. Namun, alangkah terkejutnya Sunan Muria menyaksikan
padinya hampir habis dimakan ribuan burung.
“Hai,
Rinangku, mengapa engkau tidak mengusir burung-burung itu? Kalau
demikian, padiku tak bakal bisa dipanen,” kata Sunan Muria dengan nada
amarah yang tertahan. Akan tetapi, dengan santun Rinangku menjawab,
“Bapak Guru, apakah salahku karena perintah yang kudengar ialah menjaga
burung-burung yang memakan padi. Kalau sekarang rusak, izinkanlah
Rinangku memulihkannya.”
Dalam
sekejap saja, padi yang rusak itu sudah pulih kembali dan siap untuk
dipanen. Namun, hal itu justru menjadikan amarah Sunan Muria tak
terbendung lagi karena merasa dihinakan oleh seorang muridnya.
“Rinangku,
engkau memang seorang santri yang hebat. Tetapi, tidak pantaslah engkau
berpamer di hadapan gurumu sendiri. Sekarang cobalah engkau terima
kerisku ini!”
Kemudian,
dihunusnya keris di pinggang dengan maksud menguji ketabahan hati
Rinangku. Tiba-tiba, terjadilah peristiwa menyedihkan yang sama sekali
tak diharapkan siapa pun. Keris sakti di tangan Sunan Muria itu pun
melesat dan menembus dada Rinangku. Terkejutlah hati Sunan Muria, dan
bergegaslah beliau hendak menyelamatkan jiwa Rinangku. Namun, takdir
sudah berlaku bagi Rinangku yang harus tewas di tangan gurunya sendiri.
Nawangsih
tak kalah kagetnya menyaksikan kejadian itu. Dengan sedih, is segera
merangkul tubuh Rinangku yang dicintainya. Sesaat kemudian, keris yang
masih menghunjam dada Rinangku itu pun menyentuh perut Nawangsih hingga
tewaslah bersama sang kekasih.
Sejenak,
Sunan Muria termangu menyaksikan peristiwa itu, kemudian segera
memerintahkan para pengiringnya untuk mengubur jenazah Nawangsih dan
Rinangku sebagaimana mestinya. Kelak, makam sepasang muda-mudi yang
bercinta itu dikenal dengan sebutan Punden Kramat Masin yang berarti
sebuah makam keramat di Dukuh Masin.
Di
sekitar makam itu tumbuhlah pohon-pohon jati yang besar-besar, tetapi
tak pernah dimanfaatkan oleh masyarakat karena dianggap keramat. Konon,
pohonpohon jati itu berasal dari kata-kata Sunan Muria yang merasa
heran menyaksikan para pengiring jenazah itu hanya terdiam kaku. “Wong layat kok pating jenggelek kaya jati,” kata Sunan Muria dalam bahasa Jawa. Maksudnya ialah kenapa orang mengiring jenazah pada terdiam kaku seperti pohon jati
Sands Casino: Online Casino with Slots, Blackjack and
BalasHapusSign up at Sands Casino 제왕 카지노 and claim 카지노사이트 your Welcome Bonus and discover thousands of exciting new games, great septcasino promotions and a world-class gaming experience at