Sabtu, 19 Mei 2012

legenda



Sebuah tusuk konde emas milik seorang putri khayangan bernama Widuri terjatuh ke bumi. Tanpa diduga dan menakjubkan, tusuk konde tersebut menciptakan sebuah aliran sungai yang kemudian dikenal dengan sebutan Kalimas.
Nama itu diberikan warga sekitar mengingat di awal keberadaannya, permukaan sungai sempat terlihat bersinar-sinar keemasan. Namun sesungguhnya, kejatuhan tusuk konde telah diatur sedemikian rupa oleh Ambarukmo yang berniat ingin menyempurnakan ilmu sekaligus membalas dendam pada raja dan ratu khayangan yang pernah mengusirnya.
Sementara itu, sang pemilik tusuk konde emas Widuri mau tak mau harus ikut terdampar dan tinggal menetap di bumi sambil menanti sebuah keajaiban yang dapat mengembalikan dirinya ke istana khayangan.
Ambarukmo akhirnya menemukan kesempatan untuk mendapatkan dan memiliki tusuk konde sang putri, yaitu dengan cara memperalat kedua muridnya Rangin dan Panji. Hal itu dilakukan oleh Ambarukmo karena kedua muridnya itu selalu bersaing dalam segala hal termasuk urusan cinta.
Dengan iming-iming akan mendapatkan cinta Widuri, Ambarukmo lantas memerintahkan Rangin dan Panji untuk berlomba menemukan tusuk konde emas. Siapa yang lebih dulu menyerahkan tusuk konde emas, dia berhak menikah dengan Widuri yang selama ini mereka puja.
Berkat kelicikan dan tipu dayanya, Ambarukmo mengubah wujud Panji dan Rangin menjadi seekor buaya dan ikan hiu. Tidak cuma itu, kedua muridnya itu lantas diadu-domba hingga mereka nyaris saling membunuh.
Sadar bahwa mereka telah diperalat dan diadu-domba, hiu yang diberi nama Sura dan buaya bernama Baya itu lantas berbalik menyerang Ambarukmo hingga sang guru tewas mengenaskan. Namun, Sura dan Baya juga tak luput dari ajal saking parahnya luka yang mereka derita.
Sebelum kematian menjemput, keduanya sempat menyerahkan tusuk konde emas kepada sang gadis pujaan. Oleh karena itu demi mengingat jasa dan pengorbanan Sura dan Baya, wilayah itu diberi nama Surabaya.
Asal Mula Kota Jepara
Nama Jepara berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudi-an menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tiong-hoa bernama Yi-Tsing per-nah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa, dan diyakini berlokasi di Keling, ka-wasan Jepara sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Sima atau Ratu Shima yang dikenal sangat tegas dan ke-ras dalam memimpin rakyatnya.
Namun menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma Oriental”, Jepara baru dikenal pa-da abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh pu-tranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menja-di daerah/kota niaga.
Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Falatehan yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada menantunya yaitu Pangeran Hadiri suami dari Ratu Retno Kencono, namun pa-da tahun 1549 Pangeran Hadiri dibunuh oleh Aryo Penangsang akibat perebutan kekuasaan di ke-rajaan Demak setelah wafatnya Sultan Trenggono.
Kematian orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar “NIMAS RATU KALINYAMAT”. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi bandar niaga utama di pulau Jawa dan menjadi pangkalan Angkatan Laut. Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan, hal ini dibuktikan de-ngan pengiriman kapal perangnya ke Malaka untuk menggempur Portugis pada tahun 1551 dan 1574. Dan oleh orang Portugis dijuluki “RAINHA DE JEPARA” atau “SENORA DE RICA” yang artinya Raja Jepara seorang yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Selain itu Ratu Kalinyamat juga berjasa dalam membudayakan Se-ni Ukir yang sekarang jadi andal-an utama ekonomi Jepara, yaitu perpaduan Seni Ukir Majapahit dengan Seni Ukir Patih Bandar duwung yang berasal dari Negeri Cina.
Mengacu pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur, maka penetapan Hari Jadi Jepara mengambil waktu beliau dinobatkan sebagai penguasa Jepara, yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal Tahun 956 H atau 10 April 1549, ini telah ditandai dengan Candra Sengkala “TRUS KARYA TATANING BUMI” atau Terus Bekerja Keras Membangun Daerah.
 Gunung Merapi
 Gunung Merapi adalah penjelmaan dari perubahan Gunung Jamurdipo. Menurut cerita yang beredar di sana, sebagaimana diungkapkan Lucas Sasongko Triyoga dalam bukunya, Manusia Jawa dan Gunung Merapi (Gadjah Mada University Press, 1991), sewaktu Pulau Jawa diciptakan para desa, keadaannya tidak seimbang. Karena miring ke barat. Ini disebabkan di ujung barat terdapat Gunung Jamurdipo.


Atas prakarsa Dewa Krincingwesi, gunung tersebut dipindahkan ke bagian tengah agar terjadi keseimbangan. Pada saat yang bersamaan, di tengah Pulau Jawa terdapat dua empu kakak beradik, yakni Empu Rama dan Permadi. Keduanya tengah membuat keris pusaka Tanah Jawa. Mereka oleh para dewa telah diperingatkan untuk memindahkan kegiatannya tetapi keduanya bersikeras. Mereka tetap akan membuat pusaka di tengah Pulau Jawa. Maka, Dewa Krincingwesi murka. Gunung Jamurdipo kemudian diangkat dan dijatuhkan tepat di lokasi kedua empu itu membuat keris pusaka. Kedua empu itu, akhirnya meninggal. Terkubur hidup-hidup karena kejatuhan Gunung Jamurdipo. Untuk memperingati peristiwa tersebut, Gunung Jamurdipo kemudian diubah menjadi Gunung Merapi. Artinya, tempat perapian Empu Rama dan Permadi. Roh kedua empu itu kemudian menguasai dan menjabat sebagai raja dari segala makhluk halus yang menempati Gunung Merapi.


Mitos tentang asal-usul Gunung Merapi ini ternyata juga muncul dengan versi lain di Korijaya.
Pada jaman dahulu kala, pulau Jawa belum banyak daerah yang dihuni oleh manusia. Kebanyakan wilayahnya adalah hutan belantara yang dihuni oleh makhluk-maklhuk gaib dan binatang liar. Keadaan pulau jawa pada waktu itu miring, shingga mengkawatirkan kelangsungan makluk hidup yang menghuninya. Hanya ada beberapa bagian yang dihuni oleh sekelompok manusia yang hidup secara bergerombol dan suka berpindah-pindah karena keganasan alam dan serangan musuh.

Para penghuni pulau jawa ini tidak menyadari kalau tanah yang mereka tempati itu sebenarnya miring, sehingga ada kekhawatiran akan meluncur dan tenggelam ke laut Selatan. Yang mengetahui keadaan ini adalah para dewa di kayangan yang peduli akan kelangsungan hidup para penghuni pulau Jawa waktu itu. Para dewa di kayangan akhirnya sepakat untuk membuat agar pulau Jawa tidak miring, sehingga para penghuninya bisa berkembang biak dan semakin maju peradabannya.

Untuk membuatnya tidak miring, para dewa di kayangan berencana memberikan pemberat yang diletakkan di tengah-tengah pulau. Kemudian para dewa bekerja keras untuk mewujutkan rencana mereka. Pekerjaan dimulai dengan menimbang pulau Jawa untuk menentukan titik tengah keseimbangan pulau itu. Terjadilah gempa bumi yang dahsyat pada waktu itu karana pulau itu diangkat dan diletakkan diatas timbangan oleh para dewa. Dahsyatnya gempa bumi pada waktu itu tidak menimbulkan banyak korban jiwa, karena sudah diperhitungkan oleh pawa dewa dan penduduk waktu itu hanya tinggal di gubuk-gubuk. Ketakutan yang mereka alami tentu saja tidak bisa mereka elakkan lagi. Tidak hanya menusia yang ketakutan namun para penghuni lainnya termasuk binatang juga lari tunggang-langgang ketakutan.

Para penghuni pulau Jawa pada saat terjadi gempa yang dahsyat itu kebanyakan larinya ke arah selatan, sehingga menambah parah kemiringan pulau Jawa. Para dewa pun berpikir keras untuk menaruh pemberat yang lebih besar dari yang diperkirakan mereka sebelumnya.

Para dewa kemudian berunding lagi untuk menentukan pemberat yang akan mereka taruh di tengah pulau itu. Mereka memutuskan menggunakan Gunung Jamurdwipa yang yang sangat terkenal bagi makhluk-makhluk gaib dan sangat tinggi menjulang di dalam laut selatan. Para dewa kemudian memberikan pengarahan dan meminta ijin para penghuni Gunung Jamurdwipa aga segera pindah tempat, karena gunung yang mereka tempati akan dipindahkan ke tengah-tengah pulau Jawa.

Dari hasil pengukuran yang telah mereka lakukan terdahulu, ternyata lokasinya dihuni oleh dua orang yang sedang bekerja di tengah hutan belantara. Ke dua orang itu tenyata empu yang sedang membuat keris. Para dewa kemudian mengutus Dewa Panyarikan dan Batara Naradha beserta para pengawal untuk memberitahu kepada kedua orang itu agar segera pindah karena tempatnya akan diletakkan Gunung Jamurdwipa.

Para utusan dewa itu terpesona melihat kedua empu yang sedang mengerjakan keris masing-masing tanpa bantuan alat apapun. Empu itu sedang mencampur segala macam bahan logam dan dengan tangan kosong mereka menggunaka telapak tangan dan jari-jari untuk menempa dan memilin campuran bubuk logam itu hingga menggumpal.

Pekerjaan empu pada waktu itu tentu saja tidak bisa disela karena memelukan konsantrasi tingkat tinggi untuk mengolah bijih logam itu. Para utusan pun mau menunggu, dan sambil melihat betapa takjubnya mereka mengetahui cara pembuatan keris yang dilakukan oleh para empu itu. Gumpalan besi itu kemudian dipukul-pukul dan diurut-urut oleh para empu itu hanya menggunakan tangan mereka. Dan yang lebih menakjubkan lagi gumpalan besi itu membara dan menyala-nyala namun tangan para empu itu tidak terbakar sedikitpun.

Pekerjaan empu itu sebenarnya belum selesai namun karena ada utusan penting, maka pekerjaanya di hentikan sementara dan menemui utusan dari kayangan tersebut. Empu tersebut kemudian memperkenalkan diri. Yang satunya bernama Mpu Permadi sedangkan yang satunya lagi bernama Mpu Rama. Setelah saling memperkenalkan diri dan sedikit basa-basi, akhirnya Batara Naradha dan Dewa Panyarikan mengutarakan maksud kedatangannya.

Batara Naradha pun segera menyampaikan maksud kedatangannya dan didukung oleh pernyataan Sewa Panyarikan, yaitu menyarankan agar kedua empu itu segera pundah dari lokasi itu karena akan ditepatkan gunung besar yang akan digunakan untuk menyeimbangkan pulau Jawa yang sedang miring. Batara Naradha menjelaskan hal ikhwal terjadinya gempa dan keadaan pulau Jawa yang sangat mengkawatirkan mengharapkan agar kedua orang itu mau mengerti dan menuruti kehendaknya tanpa ada halangan satupun. Tidak lupa Dewa Panyarikan pun menjelaskan pentingnya pekerjaan itu demi kelangsungan hidup para penghuni pulau Jawa.

Mpu Permadi dan Mpu Rama tertegun dan saling berpandangan. Nampak dari gurat wajahnya seperti tidak berkenan dengan kehendak para dewa. Ke dua empu itu mempunyai kepentingan terkait dengan pekerjaannya yang belum selesai. Dan ternyata ke-dua empu itu tidak berkenan bila harus berpindah tempat, sementara pekerjaan membuat kerisnya baru saja dimulai dan harus diselesaikian dilokasi itu. Kedua empu itu berpendapat jika pembuatan kerisnya tidak selesai dengan sempurna akan mendatangkan malapetaka bagi manusia, maka harus mereka meminta harus menunggu hingga pekerjaannya selesai.

Kedua utusan itupun berpendapat jika perkara ini adalah perkara yang bersifat mendesak, sehingga jikalau harus menggunakan pemaksaan pun akan dijalankannya. Kedua utusan itu tak henti-hentinya menerangkan bahwa tugas yang diembannya adalah demi kelangsungan hidup umat di pulau Jawa. Namun kedua empu itu juga kokoh pada pendiriannya, jika pengerjaan keris itu tidak sempurna juga akan mendatangkan mala petaka bagi manusia.

Kedua kubu itu pun terlibat adu mulut yang sangat menegangkan. Nampaknya suasananya semakin menjadi tidak terkendali. Karena alasan yang sangat mendesak, maka kedua utusan dewa pun menggunakan pemaksaan dengan mengerahkan seluruh bala tentara pengawalnya untuk menyerang kedua empu itu. Kedua empu itu segera memasang kuda-kuda untuk menyambut serangan bala tentara kayangan itu. Nampaknya pertarungan itu tidaklah seimbang mengingat kesaktian dari kedua empu itu dalam waktu yang tdak lama semua bala tentara itu berhasil dikalahkan.

Kini tinggal berempat mereka berhadap-hadapan dan terjadilah duel satu lawan satu. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan. Pertarungan kali ini nampak seimbang, sehingga pertempurannya berlangsung lama dan wilayah sekitar pertempuran itu nampak berantakan, banyak batu-batu berhamburan dan hancur jadi debu, pohon-pohon besar bertumbangan dan asap atau debu mengepul.

Kedua empu itu tentu saja sedemikian menguasai medan, sehingga ini merupakan keuntungan bagi kedua empu itu. Tempat itu berada di daerah kekuasaan empu, sehingga keadaan ini sangat menguntungkan bagi kedua empu itu dan kelemahan bagi para utusan dewa itu. Didukung kesaktian kedua empu itu, akhirnya merekapun memenangkan pertempuran itu dan para utusan dewa itupun diusir untuk segera kembali ke tempat asalnya.

Para utusan dari kayangan itu segera terbang ke kayangan untuk melapor kepada Batara Guru sebagai Pemimpin para dewa waktu itu. Setibanya di kayangan, mereka segera melaporkan kegagalan mengusir dua orang empu itu. Tidak lupa merekapun melaporkan kesaktian yang tidak lazim dari kedua empu itu. Batara Guru sangat murka dan merasa diremehkan oleh kedua empu itu dan menjadi murka.

Batara Guru kemudian memberi titah kepada Dewa Bayu untuk memberikan pelajaran buat Mpu Rama dan Mpu Permadi. Dewa Bayu diperintah untuk segera memindahkan Gunung Jamurdwipa dengan meniupnya. Batara guru tidak peduli dengan keselamatan kedua empu itu, karena telah menentang para dewa dan membahayakan keselamatan umat manusia.

Berangkatlah Dewa Bayu ke Laut Selatan. Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdwipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdwipa hingga tewas seketika. Kemudian roh kedua empu tersebut tidak bisa diterima di alam baka sehingga menjadi penunggu gunung itu.

Meskipun kedua empu sakti itu telah tewas tertimpa gunung, namun sisa-sisa kesaktiannya tidak padam. Bahan keris yang masih dalam proses pengerjaanya masih menyala dan tidak dapat dipadamkan kecuali oleh kedua orang empu yang sudah tewas tersebut dan terus menerus membara dan karena tertimbun oleh gunung, lama kelamaan semakin membara dan membesar. Karena bertambah besar baranya, maka tempatnya menjadi terbatas sedangkan tekanannya menjadi meningkat. Bara api yang makin membesar itu menyembur ke atas dengan membakar bebatuan dan tanah yang menimbunnya hingga meleleh. Oleh karena tanah dan bebatuan yang meleleh tadi mnimbulkan lobang yang semakin hari semakin bertambah luas hingga sekarang menjadi kawah.

 KISAH CINTA NAWANGSIH & RINANGKU

Nawangsih adalah salah secrang putri Sunan Muria yang terkenal cantik di tengah gadis-gadis pesantren. Wajarlah jika gadis itu didambakan dan dirindukan sebagai calon istri oleh banyak santri lelaki yang belajar di pesantren Sunan Muria. Hal itu diketahui juga oleh Sunan Muria walaupun tak pernah diungkapkan secara terbuka.
Sebagai seorang ayah, tentulah Sunan Muria mengharapkan seorang menantu yang simpatik dari kelak dapat dipercaya tanggung jawabnya terhadap keluarga. Namun, sebagai seorang guru atau kyai di pesantren yang banyak muridnya, Sunan Muria cencerung menaruh perhatian kepada santri yang pandai-pandai. Di antara mereka itu tersebutlah seorang santri dari daerah Pati, nama panggilannya Cebolek. Dipanggil demikian karena tubuhnya cebol (pendek) sehingga penampilannya tidak tampan (elek).
Pada suatu saat, pernah Sunan Muria menyebut­nyebut nama itu sebagai calon suami Nawangsih. Akan tetapi, sang gadis merasa sedih karena mengaku tidak mencintainya. Di pihak lain, secara diam-diam Cebolek telanjur menaruh hati.
Walaupun sudah cukup lama Cebolek mencari-cari jalan yang terbaik untuk berhubungan dengan Nawangsih, belum juga berhasil karena sang gadis itu selalu menghindari kemungkinan bertemu dengan pemuda santri itu. Gelagat atau pertanda kegagalan itu semakin kentara setelah hadirnya seorang santri bare yang bernama Rinangku, salah seorang anak Ki Pandanaran yang berkuasa di Semarang. Dalam waktu yang singkat, Rinangku yang tampan dan kaya itu sudah berhasil mendekati Nawangsih sehingga Cebolek merasa tersisih. Akibatnya, timbul iri dengki di lubuk hati Cebolek dan akhirnya berkembang niat hendak mencelakakan Rinangku.
Kebetulan, waktu itu muncul kerusuhan dari ulah para perampok di sebelah barat Gunung Muria. Banyak penduduk desa yang mengungsi ke pesantren sehingga Sunan Muria memerintahkan santri-santrinya untuk menumpas kaum perampok. Pada saat itulah Cebolek merasa mendapatkan kesempatan yang tepat untuk menjatuhkan wibawa Rinangku.
“Bapak Guru, sesungguhnya kami sudah lama berbakti dan mengabdi di pesantren ini, sedangkan Rinangku belum kelihatan baktinya. Oleh karena itu, berikanlah tugas menumpas perampok itu kepadanya, supaya dia pun teruji kepandaiannya.”
Permohonan Cebolek itu dianggap wajar oleh Sunan Muria, dan segeralah tugas itu dipercayakan kepada Rinangku. Sebenarnya, Cebolek justru menginginkan tewasnya Rinangku di tangan para perampok. Akan tetapi, tidak lama kemudian Rinangku kembali membawa kemenangan. Bahkan, sanggup mengajak beberapa orang perampok untuk bertobat dan berguru kepada Sunan Muria. Keberhasilan itu semakin membesarkan simpati Nawangsih terhadap Rinangku.
Cebolek yang merasa semakin tersisih lantas menyebar fitnah. Kepada para santri dikabarkan bahwa Rinangku pernah secara sembunyi-sembunyi memasuki kamar Nawangsih sehingga perlu dijebak agar tertangkap basah. Tindakan seperti itu jelas melanggar adat kesopanan dan akan merusak wibawa kaum santri. Kabar itu akhirnya terdengar juga oleh Sunan Muria, namun disaring-saring kebenarannya. Meskipun demikian, teguran amarah telah dicurahkannya kepada Nawangsih yang telah dengan santun membantahnya.
Demi kewibawaan pribadi Sunan maka pada suatu hari Sunan Muria memanggil Rinangku sendirian. Setelah gaga) memperoleh pengakuan dari Rinangku, berkatalah Sunan dengan lembutnya, “Baiklah, Rinangku. Mulai besok engkau bertugas menunggu burung-burung yang memakan padi di sawah Dukuh Masin. Janganlah engkau kembali sebelum aku sendiri memanggilmu.”
Rinangku yang selalu patuh terhadap perintah sang Guru segera berkemas dan melaksanakan tugas itu. Selama berhari-hari dia berada di sebuah gubuk di tengah sawah untuk menyaksikan ribuan burung memakan padi.
Pada suatu siang, datanglah Sunan Muria beserta Nawangsih dan sejumlah santri hendak mengajak pulang Rinangku yang memang tak terbukti kesalahannya. Namun, alangkah terkejutnya Sunan Muria menyaksikan padinya hampir habis dimakan ribuan burung.
“Hai, Rinangku, mengapa engkau tidak mengusir burung-burung itu? Kalau demikian, padiku tak bakal bisa dipanen,” kata Sunan Muria dengan nada amarah yang tertahan. Akan tetapi, dengan santun Rinangku menjawab, “Bapak Guru, apakah salahku karena perintah yang kudengar ialah menjaga burung-burung yang memakan padi. Kalau sekarang rusak, izinkanlah Rinangku memulihkannya.”
Dalam sekejap saja, padi yang rusak itu sudah pulih kembali dan siap untuk dipanen. Namun, hal itu justru menjadikan amarah Sunan Muria tak terbendung lagi karena merasa dihinakan oleh seorang muridnya.
“Rinangku, engkau memang seorang santri yang hebat. Tetapi, tidak pantaslah engkau berpamer di hadapan gurumu sendiri. Sekarang cobalah engkau terima kerisku ini!”
Kemudian, dihunusnya keris di pinggang dengan maksud menguji ketabahan hati Rinangku. Tiba-tiba, terjadilah peristiwa menyedihkan yang sama sekali tak diharapkan siapa pun. Keris sakti di tangan Sunan Muria itu pun melesat dan menembus dada Rinangku. Terkejutlah hati Sunan Muria, dan bergegaslah beliau hendak menyelamatkan jiwa Rinangku. Namun, takdir sudah berlaku bagi Rinangku yang harus tewas di tangan gurunya sendiri.
Nawangsih tak kalah kagetnya menyaksikan kejadian itu. Dengan sedih, is segera merangkul tubuh Rinangku yang dicintainya. Sesaat kemudian, keris yang masih menghunjam dada Rinangku itu pun menyentuh perut Nawangsih hingga tewaslah bersama sang kekasih.
Sejenak, Sunan Muria termangu menyaksikan peristiwa itu, kemudian segera memerintahkan para pengiringnya untuk mengubur jenazah Nawangsih dan Rinangku sebagaimana mestinya. Kelak, makam sepasang muda-mudi yang bercinta itu dikenal dengan sebutan Punden Kramat Masin yang berarti sebuah makam keramat di Dukuh Masin.
Di sekitar makam itu tumbuhlah pohon-pohon jati yang besar-besar, tetapi tak pernah dimanfaatkan oleh masyarakat karena dianggap keramat. Konon, pohon­pohon jati itu berasal dari kata-kata Sunan Muria yang merasa heran menyaksikan para pengiring jenazah itu hanya terdiam kaku. “Wong layat kok pating jenggelek kaya jati,” kata Sunan Muria dalam bahasa Jawa. Maksudnya ialah kenapa orang mengiring jenazah pada terdiam kaku seperti pohon jati

1 komentar:

  1. Sands Casino: Online Casino with Slots, Blackjack and
    Sign up at Sands Casino 제왕 카지노 and claim 카지노사이트 your Welcome Bonus and discover thousands of exciting new games, great septcasino promotions and a world-class gaming experience at

    BalasHapus